Model Bisnis O2O Sebagai Masa Depan Bisnis E-commerce
Latar belakang
Sejak awal munculnya COVID-19, telah mengakibatkan berbagai perubahan revolusioner terhadap perilaku konsumen dalam membelanjakan uangnya. Keberadaan COVID-19 ini seakan menjadi akselerator terhadap perubahan kebiasaan konsumen untuk berbelanja secara online. Hal tersebut tercermin dari studi yang dilakukan oleh e-Marketers yang menunjukkan bahwa ada kenaikan yang sangat signifikan dari peningkatan transaksi e-commerce pada tahun awal kemunculan COVID, yakni pada tahun 2020.
Pada tahun 2020 terjadi transaksi sebesar $4.213 yang merepresentasikan pertumbuhan YoY sebesar 25,7% dari tahun sebelumnya. Meski pertumbuhan tersebut ternormalisasi pada tahun berikutnya, namun transaksi melalui ecommerce ini diproyeksikan akan terus bertumbuh dalam beberapa tahun kedepan.
Tren peningkatan penggunaan e-commerce ini menghadirkan kekhawatiran bagi para pemilik toko fisik (offline), mereka khawatir bahwa mereka tidak akan mampu untuk bersaing dengan toko online dalam hal harga dan pilihan produk. Hal tersebut disebabkan oleh cost untuk mengoperasikan toko fisik (offline) yang terbilang relatif tinggi (biaya sewa dan gaji karyawan) dan mereka juga memiliki keterbatasan tempat penyimpanan sehingga terbatas juga dalam menyediakan pilihan produk.
Namun, apakah tren penggunaan e-commerce ini akan serta merta mematikan toko fisik? Sebenarnya tidak juga, penelitian dari Google menunjukkan bahwa hampir dari 80% konsumen tetap akan menuju toko fisik ketika mereka membutuhkan sesuatu dengan cepat. Jadi dapat disimpulkan bahwa toko fisik tetap memiliki tempat di hati konsumen. Penelitian lain dari Shopify juga menyebutkan bahwa seiring dengan semakin terkendalinya COVID dan dibukanya pusat perbelanjaan, demand terhadap in-store shopping juga meningkat.
Namun hal tersebut bukan berarti bahwa para pelaku usaha toko fisik dapat bersantai-santai, penelitian lain dari Retail Dive menunjukkan bahwa mayoritas konsumen (87%) memulai journey belanjanya dengan mencari produk yang diinginkan dari channel digital/online. Jadi meski toko fisik (offline) tetap memiliki tempat di hati customer, namun channel online memegang peranan penting dalam awal journey belanja dari customer.
Kedua hal tersebut tersebut menunjukkan bahwa penjualan secara online dan offline ini tidak dapat serta merta dihadap-hadapkan secara diametral. Alih-alih dibanding-bandingkan sebagai "lawan", konsep toko online dan offline dapat dipadukan sebagai satu kesatuan konsep yang saling melengkapi antar satu dengan lainnya. Inilah yang coba dihadirkan oleh konsep online-to-offline (O2O) dimana channel online dimanfaatkan untuk mendapatkan leads untuk dikonversi menjadi sales di channel offline.
Bisnis model O2O (Online to Offline)
Sumber: seekingalpha.com
Online to offline (O2O) adalah model bisnis yang menarik calon pembeli potensial dari channel online untuk melakukan pembelian di toko fisik. Sederhananya adalah kita membawa orang dari sosial media ataupun iklan digital untuk berbelanja di toko fisik yang kita milik.
Keunikan dari model ini adalah menghadirkan pengalaman belanja lebih lengkap kepada customer, yakni online dan offline. Customer tidak hanya disuguhkan dengan diskon dan berbagai penawaran menarik yang umumnya terdapat pada platform online, namun juga berkesempatan untuk mendapatkan pengalaman berinteraksi langsung dengan produk yang mereka inginkan.
Ilustrasi sederhananya adalah sebagai berikut :
- Farel ingin membeli t-shirt dari brand A
- Dia mencari t-shirt tersebut secara online
- Dia menemukan produknya di halaman web
- Dia membuat pesanan dengan memilih ukuran dan warna yang dia inginkan. Lalu, sebelum melakukan checkout, dia memasukan voucher yang tersedia
- Farel pergi ke toko terdekat untuk mengambil tshirt yang sudah Ia beli dengan menunjukkan bukti transaksi yang Ia lakukan melalui halaman web
- Di toko tersebut Farel dapat mencoba secara langsung tshirt yang ia beli dan jika ternyata tidak sesuai, maka Farel dapat langsung menukarkannya atau mengembalikannya untuk mendapatkan refund.
Mengapa harus menerapkan O2O?
- Meningkatkan reputasi brand
Model bisnis online to offline dapat meningkatkan reputasi brand sehingga customer juga meningkat kepercayaannya terhadap brand tersebut. Penelitian dari Google menyebutkan bahwa 61% dari customer lebih memilih membeli produk dari brand yang memiliki toko fisik dibandingkan dengan tidak memiliki.
Toko fisik dapat membuat customer lebih yakin dengan produk yang akan dibeli karena mereka dimungkinkan untuk berinteraksi secara langsung dengan produk yang diinginkan tersebut. Selain itu, toko fisik juga memberi rasa aman serta kemudahan apabila customer ingin menukarkan atau mengembalikan produk yang dibeli jika ditemukan kerusakan/kecacatan.
- Menghemat budget untuk keperluan logistik
Model bisnis O2O memungkinkan untuk diterapkannya konsep BOPIS (Buy Online Pick-up In Store). Hal tersebut dapat memotong biaya logistik yang harus dikeluarkan, terutama untuk bisnis-bisnis yang menawarkan subsidi atau bahkan gratis ongkos kirim kepada customer. Dengan konsep ini, brand dapat mengurangi ketergantungan brand terhadap third-party logistic (3PL) sehingga brand dapat lebih leluasa dan percaya diri untuk memberikan penawaran same day atau next day delivery/pick up.
- Memberi customer apa yang mereka inginkan
Saat berbelanja umumnya ada 3 ekspektasi utama dari customer, yakni produk berkualitas, harga murah, dan pengiriman cepat. Kombinasi konsep online dan offline dalam model O2O memungkinkan customer untuk mendapatkan ketiganya secara bersamaan. Transaksi secara online memungkinkan customer untuk mendapat berbagai penawaran menarik yang umumnya tidak tersedia di toko fisik. Sementara keberadaan toko fisik selain dapat mempersingkat waktu pengiriman produk juga seakan menjadi garansi kualitas bagi customer yang akan berbelanja.Hal tersebut terjadi karena customer dimungkinkan untuk mengamati dan mencoba produk tersebut secara langsung, apabila customer menemukan ketidaksesuaian maka mereka dapat langsung menukarkan/mengembalikannya di toko.
Trend O2O di Dunia
Dari tahun ke tahun transaksi ritel Cina terus menunjukkan tren pertumbuhan yang sangat menjanjikan. Namun data menunjukkan bahwa mayoritas dari transaksi tersebut bersumber dari transaksi yang berasal dari toko fisik. Hal inilah yang menjadi dorongan bagi raksasa ecommerce yang berasal dari Cina, yakni Alibaba, untuk mulai dan terus mempersiapkan infrastruktur offlinenya guna menangkap peluang besar disisi transaksi offline.
Pada tahun 2016, secara mengejutkan China menyalip US untuk menjadi negara dengan transaksi ritel terbesar di dunia dengan angka transaksi mencapai $4,9 triliun. Namun secara tren proporsi transaksi masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yakni masih dikuasai oleh transaksi offline. Data dari eMarketer menunjukkan bahwa 80% dari total transaksi tersebut berasal dari transaksi yang berasal dari toko fisik.
Sumber : Alibaba's "New Retail" Explained
Setelah digemparkan oleh data tersebut, publik Cina dan dunia kembali dihadirkan dengan kabar besar yakni Alibaba yang meluncurkan konsep baru yang mereka sebut sebagai "New Retail". Konsep ini merupakan integrasi antara online dan offline. Melalui integrasi ini Alibaba ingin mendapatkan keuntungan dari kekuatan big data dan machine learning dari dunia online untuk mendapatkan keunggulan kompetitif di dunia ritel offline. Founder dari Alibaba, Jack Ma, mengatakan bahwa dalam 10-20 tahun mendatang tidak ada lagi toko online kecuali "New Retail". Hal tersebut menunjukkan betapa yakinnya Jack Ma dengan integrasi online dan offline sebagai masa depan sektor ritel
Sementara di penjuru dunia yang lain, di United States, Amazon dan Walmart juga menerapkan strategi O2O di bisnis mereka. Amazon melakukannya dengan mengakuisisi perusahaan ritel Whole Foods pada tahun 2017. Sementara Walmart melakukannya dengan mengakuisisi Jet.com setahun sebelumnya.
Tren O2O di Indonesia
Menurut John Riady, penerus ketiga grup Lippo, di Indonesia saat ini 60% dikuasai oleh pasar tradisional, 30% mal, dan 10% e-commerce. Dalam 5 hingga 10 tahun ke depan, lanjutnya, e-commerce baru bisa menguasai 30%. Oleh sebab itu, kerja sama antara pemain offline dan online diperlukan sebab hal terpenting ialah tidak membatasi pilihan konsumen. Oleh karenanya pada tahun 2021 terjadilah kerjasama strategis antara GoTo dan Lippo untuk mengembangkan bisnis O2O
Dari penelitian dari Nielsen yang dilakukan pada Juni 2021 lalu kepada 3000 warung dan toko pulsa di 14 Kota di Indonesia, ditemukan baru 14,8% yang sudah menerapkan konsep O2O. Sementara sisanya masih belum. Dari penetrasi pasar yang masih kecil tersebut, Bukalapak mendominasi dengan menguasai 42% diantaranya. Data tersebut menunjukkan besarnya potensi untuk pengembangan konsep O2O selama beberapa tahun kedepan
Cukup sekian artikel dari penulis, semoga ada inspirasi/manfaat yang dapat diambil dari tulisan ini. Good luck!
Written by: Dicky Alfa Reza
Referensi:
https://bisnisindonesia.id/article/kongsi-lippogoto-di-bisnis-o2o
https://visecoach.com/articles/read/akankah-model-bisnis-o2o-menjadi-tren-bisnis-pasca-pandemi
https://www.techinasia.com/talk/opinion-alibabas-mall-shows-o2o-real-business-model
https://www.cnbc.com/2015/08/11/whats-o2o-the-driver-behind-alibabas-46b-deal-thats-what.html